Suatu siang di tenda penampungan pengungsi di Blang Bintang, Banda Aceh. Seperti hari-hari lalu, banyak orang lalu lalang diantara barisan pengungsi yang tercerai berai dari keluarganya. Ada pejabat-pejabat yang menghibur dan membesarkan hati mereka. Juga relawan yang hilir mudik mengemasi sumbangan para penderma. Diantara kesibukan itu, suara tangis terdengar lamat-lamat. Seorang gadis kecil duduk di pojok tenda, berbaju tidur motif kembang. Wajahnya suram, air matanya mengalir bak sungai kecil.
Kepalanya dililit perban, menutupi rambutnya yang pendek. Diantara tangisnya berulang kali gadis itu menyebut “Papa … Mama” dan air matanya berurai deras lagi setelahnya.Hari memang tiba-tiba amat cepat bergulir bagi Putri. Sepuluh tahun masa lalunya di Lampasah, Banda Aceh, digulung ombak dalam waktu setengah jam, di sebuah hari menjelang pagi lima hari sebelumnya. Sekejap saja, gadis kecil bermata bulat itu kehilangan semuanya. Rumah, boneka, empat saudara dan sepasang orang tua. Juga mal di Banda Aceh tempatnya makan ayam KFC jika akhir pekan bersama keluarganya, yang hancur diterjang gelombang tsunami.
“Ada boneka banyak ..juga terbawa. mama dan papa juga,” bisiknya lirih. Matanya menatap tayangan televisi. Minggu (2/1), ketika sebuah stasiun televisi menayangkan gambar Banda Aceh dengan hiruk pikuk terakhir,Youlanda Putri justru sudah ribuan kilo jauh dari sana. Tangisannya di pengungsian, memilukan banyak orang yang mendengarnya. Beruntung, tiba-tiba seseorang mendekat, mengajaknya ikut terbang ke Jakarta.
“Melihatnya nangis terus, saya tanya itu anak siapa. Katanya anak polisi juga, tapi sudah nggak ada semua. Entah gimana, saya merasa ada sesuatu disini dan lalu ingin membawanya,” kata Didi Widayadi, menunjuk dadanya. Selama bertahun-tahun, ia dan Siti Aisyah, istrinya, berangan memiliki anak perempuan, setelah putra semata wayangnya, Endi, beranjak dewasa.
*****
Siapa nyana, anak perempuan itu `disiapkan’ Tuhan bagi keluarga Didi, di pengungsian. Gadis kecil yang kurus dengan luka menganga di dahi sampai pangkal kepala. Luka itu justru baru diketahuinya ketika sudah membawa Putri ke Jakarta. Sabtu (1/1) malam ketika sampai di Jakarta, Didi curiga melihat cairan yang terus meleleh di dahi Putri. Meski anak adopsinya itu tak mengeluh, rasa penasaran membuatnya ingin tahu seperti apa luka di dahi Putri.
“Ketika dibuka perbannya, lukanya begitu dalam. Ketika disana katanya sudah dijahit, jadi saya tenang. Nggak tahunya lukanya hanya disumpel kapas lalu diperban. Ketika kita buka, luka itu sudah busuk dan bau, nanahnya juga banyak sekali sampai habis tisue di kamar,” urai Didi sembari menggeleng-gelengkan kepala. Putri juga nangis terus sambil menjerit-jerit “Papa, tolong Ade. Papa nggak sayang Ade. Papa nggak sayang Ade!” Putri pun dilarikan ke rumah sakit Soekanto, Kramat Jati Jakarta Timur. Hasil rontgen, Sabtu (2/1) siang memperlihatkan ada sebuah paku sepanjang 3 cm di pelipis kanan Putri. “Menurut ceritanya, ketika badai itu kepala Putri terhantam meja yang melaju deras digulung ombak. Mungkin paku dari situ yang masuk kepalanya,” kata dr. Harry Sugiarto SpB, ahli bedah yang mengoperasi kepala dan kaki Putri di rumah sakit Soekanto Kramat Jati, Jakarta Timur.
Khawatir ada infeksi yang bisa menjalarlah yang membuat kepala Putri di rontgen. Ternyata, tengkorak kepalanya bagus, hanya dahi sampai pangkal kepala yang terluka parah. Beberapa jam setelah rontgen, meski resminya hari itu libur, diputuskan untuk mengoperasi kepala Putri, mengeluarkan paku di pelipis kanan dan menjahit luka menganga di dahinya.
*****
“Beberapa kali ada bayi di rumah sakit, gemuk, lucu. Anak saya bilang `Ma, lucu bayinya. Adopsi aja.’ Tapi saya selalu bilang `Nggak ah, saya belum sreg,’” kenang Siti Aisyah. Tapi Jum’at (31/12) itu, ia merasa takdir menyiapkannya bertemu Putri, gadis yang selamat karena susah payah `menunggang’ bantal ketika gelombang air dahsyat hendak menggulungnya. Melihat gadis itu begitu ketakutan, menderita dan butuh perlindungan, hatinya luluh.
“Saya nggak ada pikiran apa-apa lagi. Tahu-tahu hati kecil saya bilang `iya’ dan kami bulat membawa anak itu ke Jakarta,” lanjutnya. Dalam waktu beberapa jam saja, ia merasa Putri bagai terlahir sebagai anak kandungnya. Setiap kali, tangan Putri seperti tak ingin lepas bertautan dengan tangan orang tua barunya. “Mama jangan tinggalin Ade ya,” bisik Putri selalu. Beberapa kali, kalimat itu sempat membuat mata Siti Aisyah berkaca-kaca.
Diakuinya, banyak penyesuaian yang harus dilakukan. Sifat Putri yang keras kepala, rasa trauma yang dalam karena kehilangan keluarga asalnya, menjadi masalah yang kelak harus dihadapi pasangan ini terhadap anak adopsinya. “Tapi saya sudah ikhlas mengambilnya sebagai anak saya. Selama ini sama Endy nggak pernah sekalipun saya nangis. Tapi pas liat dia (Putri) kesakitan, saya betul-betul sedih dan nangis,” kata Didi. Apalagi ketika ia tanya apa yang bisa membuat Putri bahagia, gadis kecil itu menjawab “Aku ingin Mama dan Papaku.Mereka sudah ketemu belum?” .
*****
Meski dalam kondisi tertekan, Putri cenderung tenang untuk ukuran anak seusianya. Sepintas, kecepatannya beradaptasi di keluarga barunya seperti menjelaskan gadis kecil itu cukup cerdas. Syahdan, anak keempat dari lima bersaudara itu selalu ranking di sekolahnya di Lampasah, Banda Aceh. Ayahnya Brigadir Sudirman, adalah anggota Intel Polda NAD. Ibunya, Juariah, lebih sering menemaninya main boneka di rumah. Kini, hanya kenangan yang hidup dalam dirinya, setelah kelaurganya hilang belum tentu rimbanya. “Mama pintar bikin asam manis. Ikan asam manis. Kita juga suka ke mal makan KFC (Kentucky Fried Chicken),” kata Putri sambil tersenyum kecil. Sesekali, tangannya sibuk berkonsentrasi memencet tombol-tombol handphone barunya. “Lagi sms-an sama kak Sasha,” lanjutnya ketika ditanya asyik ngobrol sama siapa.Kadang, ketika rasa kehilangannya muncul, Putri yang semula pendiam berubah menjadi rewel dan keras kepala. Ia merengek-rengek minta boneka atau makanan kesukaannya. “Tapi setelah dibelikan, boneka itu cuma diliatin. Makanan juga cuma beberapa sendok lalu dia nggak mau lagi,” keluh Siti Aisyah. Jika sudah begitu, yang bisa dilakukan hanya bersabar.
Karena kini, cuma itu satu-satunya jalan. “Saya cuma ingin menolongnya. Semoga saya mampu menyekolahkannya sampai selesai,” bisik Siti Aisyah, Senin (3/1) siang itu. Sesekali, ia mengintip Putri yang terbaring tenang dalam tidur “Memang harus sabar, ini menyangkut kondisi psikisnya juga. Untuk luka di kepalanya itu butuh waktu 1 bulan. Tapi operasi kosmetiknya lebih baik dilakukan nanti 6 bulan lagi setelah benar-benar pulih,” ujar dr Harry Sugiarto, ahli bedah yang menangani Putri. Pun demikian, garis luka di dahi Putri diyakini tak bisa hilang benar. Kalaupun bisa, hanya disamarkan dengan bedak.Daging di ujung pergelangan kaki kiri Putri pun sebagian harus di buang karena sudah busuk. Pertumbuhan kulit barunya juga harus menunggu 1 sampai 2 bulan lagi.
******
“Papa sayang Ade nggak?” kalimat pelan itu seperti memecah malam. Padahal saat itu, Minggu (2/1), Putri sedang nonton film kartun di televisi, sambil tangan kirinya memegang erat tangan kanan Didi Widayadi, papa barunya “Sayang sekali dong. Ade kan anak Papa,” Didi tersenyum, menyembunyikan rasa haru yang mulai terlihat di matanya. Diluar, malam mulai merayap tanpa suara Setelah beberapa tamu datang menjenguk Ade, panggilan sayang Putri, gadis kecil itu tampak lelah. Makan malam dari rumah sakit hanya dicicipinya sedikit.
“Asin. Nasinya lembek,” keluhnya sambil menjauhkan mulutnya dari piring makannya. Sekilas, bibirnya cemberut. Lalu tersenyum lagi ketika disinggung umurnya. “11 tahun … mmm … 8 Mei nanti. Masih lama ya?”katanya sambil matanya sekilas menerawang. Mungkin ia sadar, ketika tiba saat yang empat bulan itu, umurnya bertambah dalam kesendirian. Tanpa Sudirman dan Juariah, orangtua sedarahnya Tanpa empat saudara kandungnya.Tapi Putri punya orang tua dan saudara-saudara baru, yang mungkin belum dimiliki anak-anak lain di tempat pengungsian Aceh, sampai saat ini. Ada boneka pink berbentuk tulang yang hangat menyangga kaki kirinya yang masih sakit dibelit perban. Juga kawanan boneka lain yang mulai berdatangan di kamar sejuknya di rumah sakit.
Malam itu, Putri tidur mengapit tangan papa barunya. Ayah dan anak itu sama-sama baru mengakhiri penantian. Di tempat tidur yang hangat, tanpa takut kedinginan dan kehilangan perlindungan lagi, mata Putri beberapa kali mengerjap, lalu tidur lagi. Masa kecilnya masih bisa ditempuhnya dengan indah, segera setelah pulih lahir dan bathin. Sementara ribuan kilo dari sisinya, ribuan anak menanti nasib baik,di berbagai pelosok Aceh. Mereka pasti menanti suatu malam dimana mereka bisa tidur dalam pelukan hangat orang tua – orang tua yang tulus, yang membuat masa kecil mereka bisa berlanjut. Seperti Putri. (Lily Bertha Kartika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar